Air laut sebagai sumber hara

Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat 14 jenis ion pada air laut. Dari jumlah itu, konsentrasi Chlorite dan Natrium terdapat dalam jumlah yang sangat tinggi. Hal inilah yang menyebabkan tingginya salinitas air laut. Di samping itu sulfat, magnesium (Mg), calsium (Ca) dan kalium (K) juga terdapat dalam konsentrasi yang cukup tinggi dibandingkan unsur lainnya. Tingginya kandungan nutrien yang terdapat pada air laut, khususnya unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman seperti Mg, Ca dan K memberi petunjuk bahwa air laut dapat menjadi salah satu sumber alternatif nutrien bagi tanaman. Berkaitan dengan tingginya salinitas air laut, tantangan yang dihadapi adalah upaya untuk memanfaatkan unsur-unsur hara tersebut dengan menurunkan kandungan Na dan Cl sampai pada level yang tidak merugikan pada tanaman. Disamping itu unsur Na juga dapat dimanfaatkan sebagai unsur hara untuk jenis-jenis tanaman tertentu yang membutuhkannya baik sebagai unsur tambahan/menguntungkan maupun sebagai pengganti sebagian dari kebutuhan akan unsur K.

Kendala dalam pemanfaatan air laut

Tingginya salinitas merupakan kendala utama dalam pemanfaatan hara dari air laut yang dapat berakibat negatif terhadap tanah dan tanaman. Dispersi tanah merupakan masalah utama pada tanah akibat kadar garam yang tinggi. Agregat tanah menjadi pecah, mineral berukuran kecil dan partikel organik menyumbat pori tanah mengakibatkan berkurangnya aliran air di tanah. Secara bertahap kondisi ini merubah porositas tanah dan mengurangi permeabilitas air (Miller dan Gardiner, 1998). Akibat dispersi Na pada liat dan bahan organik mengurangi agregasi tanah, permeabilitas terhadap udara dan air, perkecambahan dan pertumbuhan akar. Dispersi tanah terjadi apabila Na dapat tukar melebihi 10 – 20% KTK (Tisdale et al, 1993).

Efek buruk tingginya konsentrasi Na di tanah terhadap pertumbuhan tanaman dapat dibedakan atas 3 kelompok: a) terhambatnya serapan air karena rendahnya potensi osmotik (Lea-Cox dan Syverstsen 1993), b) terganggunya metabolisme disebabkan tingginya konsentrasi Na pada jaringan tanaman (Cramer et al 1990), dan c) terhambatnya absorpsi kation lainnya (Cachorro et al 1994). Menurut toleransinya terhadap salinitas, tanaman dibedakan atas halophytic dan glycophytic. Halophytic adalah tanaman yang toleran terhadap tingginya salinitas karena kemampuannya menyerap air dengan mempertahankan potensi osmotik yang tinggi melalui

akumulasi ion-ion anorganik (Bradley dan Morris 1991), sebaliknya tanaman yang tergolong glycophytic sensitif terhadap salinitas yang tinggi.

Produksi kalium dari air laut

Kalium adalah unsur yang mudah larut, oleh karenanya unsur ini yang terakhir mengalami presipitasi setelah kalsium, karbonat, kalsium sulfat dan natrium sulfat. Ketika 90.5% larutan air laut telah terevaporasi, larutan yang masih tinggal mengandung kalium chlorid dan magnesium chlorid (Brown et al., 1989; Millero, 1996). Pilson (1998) menerangkan bahwa sejumlah kalsium karbonat dihasilkan ketika tiga perempat dari 1000 mL air laut telah terevaporasi. Selanjutnya gypsum terbentuk sampai volume air laut tingal 10 – 12% dari volume awal, diikuti dengan terbentuknya natrium chlorid, terbentuk di bagian atas gypsum. Setelah volume air laut tinggal 3 – 4% dari volume awal maka terbentuk 21 g NaCl, 0.1 g CaCO3 dan 1.7 g gypsum. Air laut yang tersisa sekitar 30 mL mengandung Mg, Na, K, SO4, Cl dan Br. Larutan ini disebut bitterns karena tingginya konsentrasi Mg yang mengakibatkan rasa pahit. Dalam skala besar, pada tahun 1986 China telah mengembangkan cara modern dalam menghasilkan KCl dari larutan garam dengan kapasitas 1 juta ton KCL di Qinghai Potash (ASIAFAB, 1999).

Pengembangan pertanian berbasis air laut

Pertanian berbasis air laut telah banyak dikembangkan terutama pada tanaman yang tergolong halophytic yang ditanam dekat pantai dimana kekurangan air bersih. Berbagai hasil penelitian memberikan peluang yang besar dalam budidaya tanaman halophytic khususnya yang menghasilkan dedaunan untuk pakan dan biji menggunakan air laut. O’Leary et al (1985) menyatakan bahwa tanaman halophytic yang diairi dengan air laut memiliki nutrisi yang tinggi serta mudah dicerna. Biji dari tanaman halophytic tidak mengakumulasi garam melebihi dari tanaman glycophytic dan mengandung protein serta kandungan minyak yang tinggi walaupun diairi dengan air laut dengan kadar garam tinggi.

Air laut telah pula diuji pengaruhnya terhadap perkecambahan tanaman biji-bijian dan tanaman biji-bijian penghasil minyak di India (Reddy dan Iyengar 1999). Tanaman seperti gandum, padi dan jagung ternyata lebih toleran terhadap salinitas tinggi dibandingkan tanaman biji-bijian penghasil minyak seperti kacang tanah, bunga matahari dan mustard. Rains dan Goyal (2003) menyatakan bahwa membrane transport baik pada akar maupun translokasi didalam tanaman merupakan kharakteristik utama pada tanaman yang toleran terhadap salinitas yang tinggi.

Sodium sebagai unsur tambahan dan pengganti kalium

Sodium dikenal sebagai unsur tambahan yang menguntungkandan untuk beberapa jenis tanaman ia dapat menggantikan sebagian fungsi K (Marschner 1995). Menurut Wild dan Jones (1996) pengaruh Na akan sangat besar bila pasokan K bagi tanaman tidak mencukupi. Lebih lanjut dikatakan Mills dan Jones (1996) bahwa unsur ini dapat mengurangi pengaruh yang ditimbulkan oleh kekurangan K tapi tidak dapat menggantikan fungsi K sepenuhnya. Dalam konteks fotosistesis, Na merupakan unsur yang esensial bagi tanaman yang tergolong C4 dan CAM. Kedua jenis tanaman tersebut menghasilkan 4 asam karbon sebagai hasil utama fiksasi CO2. Akan tetapi tanaman C4 mengambil CO2 di siang hari sedangkan CAM di malam hari. Pentingnya Na untuk kedua jenis tanaman adalah dalam hal osmo-regulation, dan pemeliharaan turgor (Wild dan Jones 1988) serta untuk mengontrol aktifitas stomata (Perera et al 1994).
Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa Na sangat penting untuk tanaman non-halohytic seperti padi (Hasegawa et al 1990; Song dan Fujiama 1998), tomat (Besford 1978; Song dan Fujiama 1996) dan gula bit (Haneklaus et al 1998). Unsur ini sangat penting artinya terutama pada osmo-regulation.

Tanaman nenas yang tergolong CAM (Py et al 1987) terbukti dapat memanfaatkan Na dari air laut terutama untuk menggantikan sebagian fungsi K tanpa menimbulkan pengaruh buruk pada tanah dan tanaman, serta hara lainnya setelah air laut diencerkan. Peningkatan konsentrasi Na, EC dan SAR di tanah akibat aplikasi air laut masih dibawah batas yang membahayakan bagi tanaman. Peningkatan serapan Na pada tanaman akibat aplikasi air laut ternyata juga meningkatkan serapan K, Ca dan Mg baik pada daun tua, daun D, akar dan batang nenas. Produksi biomasa dan buah nenas yang tinggi diperoleh pada saat 30% kebutuhan K digantikan oleh Na ditambah dengan unsur hara lainnya yang terkandung pada air laut. Hasil ini sama dengan yang didapat dengan menggunakan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi yaitu 300 kg K/ha.

Beberapa pertimbangan dalam pemanfaatan air laut

Berdasarkan potensi hara yang dikandung air laut serta potensi kendala yang akan dihadapi terutama berkaitan dengan tingginya salinitas, beberapa hal yang perlu dilakukan adalah:
  • Identifikasi jenis-jenis tanaman baik tahunan maupun musiman yang toleran terhadap salinitas.
  • jenis-jenis tanaman baik tahunan maupun musiman yang yang memerlukan Na baik sebagai nutrien maupun sebagai pengganti K.
  • jumlah hara yang dibutuhkan suatu tanaman dan jumlah yang dapat disuplai dari air laut.
  • salinitas yang tinggi, disarankan melarutkan air laut terlebih dahulu sebelum diaplikasikan pada tanaman.
  • air laut untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman akan lebih baik bila dilakukan pada daerah pertanian di dekat pantai.
Baca Selengkapnya >>